Tuesday, May 11, 2010

BONUS LAILATUL QADAR

BONUS LAILATUL QADAR
Oleh : M. Alfandi, M.Ag.*)

Para sedulur pembaca yang budiman. Pada suatu sore hari di bulan puasa ini, tepatnya setelah sholat Ashar di sebuah Serambi Masjid Pak Bejo yang bekerja sebagai kuli bangunan dan Pak Slamet yang bekerja sebagai penarik becak terlihat sedang malakukan pembicaraan yang serius. Karena terlihat begitu seriusnya, sehingga menumbuhkan keingin-tahuan dari Pak Ustadz sebagai pembimbing spiritualnya, mengenai apa yang sedang diperbincangkan oleh Pak Bejo dan Pak Slamet.
Kemudian dihampirilah Pak Bejo dan Pak Slamet. “Assalamu ‘alaikum !”, demikian salam pak Ustadz, dan dijawablah oleh keduanya “Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wa barakatuh”. Selanjutnya Pak Ustadz bertanya kepada keduanya “Pak Bejo, Pak Slamet, saya perhatikan dari tadi bapak-bapak ini kok kelihatannya sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius, kalau boleh tahu mengenai apa sih yang sedang diperbincangkan bapak ini ?” Dijawablah oleh Pak Bejo, “Oo..! begini lo Pak Ustadz, kami berdua ini terus terang saja sedang risau dan bingung, sekaligus iri terhadap para tetangga kami”. “Risau dan bingung mengenai apa ?” tanya Pak Ustadz kembali. Jawab Pak Slamet, “Kami ini sedang risau dan bingung, karena sampai saat ini kami belum bisa mengumpulkan uang untuk keperluan lebaran, untuk membelikan baju anak istri dan membeli kebutuhan lainnya. Padahal tetangga, kanan, kiri, sebelah, depan dan belakang sudah banyak yang menerima bonus dari perusahaannya yang jumlahnya cukup lumayan, sehingga tercukupilah kebutuhan mereka”. “La kami berdua ini kan kuli bangunan dan tukang becak, lalu siapa yang akan memberi bonus lebaran pada kami berdua ini ?”. Mendengar keluhan dan melihat kebingungan dari Pak Bejo dan Pak Slamet itu, maka mulailah Pak Ustadz memberikan petuah-petuah kepada kedua orang bimbingannya.
“Begini lo Pak Bejo dan Pak Slamet, bapak ini tidak perlu risau dan bingung, apalagi iri pada tetangga mengenai masalah bonus itu. Allah di bulan ramadhan ini memang sedang “mengobral” rahmat dan berkahnya, maka banyak orang yang memperoleh rahmat dan berkah di bulan ramadhan ini. Tidak hanya yang khusuk dan rajin beribadah di bulan puasa, tetapi yang tidak rajin beribadahpun mereka memproleh rahmat dan berkah-Nya. Bahkan yang tidak seiman dengan kita-pun kecipratan rahmat dan berkah tersebut. Maka saya juga berharap mudah-mudahan bapak-bapak berdua ini sebentar lagi juga kebagian rahmat dan berkah bulan ramadhan ini, asal bapak rajin berdo’a dan dibarengi dengan usaha yang keras, serta tawakkal kepada Allah Swt.”
“Namun yang perlu diingat Pak Bejo dan Pak Slamet, bahwa Allah sebenarnya tidak hanya “menabur” rahmat dan berkah dalam bentuk bonus material seperti uang, kado, parcel, kue, pakaian dan lain sebagainya dari seseorang atau perusahaan, seperti tetangga bapak itu, akan tetapi sebenarnya Allah masih mempunyai bonus yang luar biasa besarnya dan bapak juga harus berusaha untuk memperolehnya”. “Bonus yang luar biasa besarnya itu apa Pak Ustadz, kapan, dimana dan bagaimana cara memperolehnya ?”, tanya Pak Bejo. “Bonus yang luar biasa itu adalah Lailatul Qadar Pak Bejo dan Pak Slamet !”
“Lailatul Qadar itu apa Pak Ustadz ?”, tanya Pak Slamet lanjut. “Lailatul Qadar adalah suatu malam yang ada di bulan ramadhan, yang malam itu lebih baik daripada seribu bulan atau sekitar 84 tahun. Hal ini Allah katakan dalam al Qur’an : “Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan (al Qur’an) pada malam Lailatul Qadr. Tahukah Engkau (Muhammad), apakah Lailatul Qadr itu ?. Lailatul Qadr adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu, turunlah malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan ijin Tuhannya untuk menata segala urusan. Kesejahteraan memenuhi malam itu hingga terbit fajar. (Q.S. al Qadr : 1-5).
Pada malam Lailatul Qadar ini, Allah menurunkan ribuan malaikat-Nya untuk membacakan shalawat bagi orang-orang yang mau beribadah kepada-Nya. Allah akan melipatgandakan pahala-Nya untuk orang-orang yang rajin beribadah kepada-Nya pada malam itu. Maka barang siapa melakukan ibadah tepat pada malam itu, pahalanya sebesar bila ibadah itu dijalankan selama seribu bulan.” “Lalu kapan jatuhnya malam Lailatul Qadar ini Ustadz ?”, tanya Pak Bejo kembali dengan semangat.
“Begini Pak Bejo dan Pak Slamet, Lailatul Qadar ini termasuk kategori rahasia Allah. Hanya Allah yang tahu secara persis kapan waktunya. Namun dari sekian pendapat, yang dianut mayoritas ulama, Lailatul Qadar jatuh pada malam sepuluh hari terakhir bulan ramadhan yang ganjil. Tapi sekali lagi Pak Bejo dan Pak Slamet, hal ini tidak menjamin satu kepastian, hanya sekedar kemungkinan besar”.
“Meskipun bersifat rahasia, kedatanggannya bisa diketahui lewat ciri-ciri tertentu, antara lain cuaca pada malam itu bersih, terang, tidak panas atau dingin, suasana terasa damai, dan sinar matahari pada pagi harinya terasa seperti bulan purnama, hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad”.
“Karena sifatnya yang rahasia dan senantiasa berubah dari tahun ke tahun ini Pak Bejo dan Pak Slamet, maka langkah yang paling praktis untuk mendapatkan Lailatul Qadar adalah dengan menggunakan semaksimal mungkin seluruh waktu yang ada di bulan ramadhan ini untuk beribadah”.
“Oleh karena itu Pak Bejo dan Pak Slamet, agar njenengan bisa memperoleh bonus yang luar biasa di bulan ramadhan, yang tidak hanya sekedar bonus seperti yang diterima oleh tetangga njenengan itu, ya berpuasalah di bulan ramadhan ini secara penuh disertai dengan amalan dan kebajikan lainnya”.
Para sedulur pembaca meteor yang budiman, dengan panjang lebarnya penjelasan Pak Ustadz mengenai Lailatul Qadar itu, tak terasa waktu berbuka puasa sudah tiba. Maka berbuka puasalah mereka bertiga, di masjid itu juga. Demikian mudah-mudahan bermanfaat. Amin.

*) Penulis adalah Dosen dan Sekretaris Laboratorium Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.

SUDAHKAH BERTAQWA KARENA PUASA ?

SUDAHKAH BERTAQWA KARENA PUASA ?
Oleh: H.M.Alfandi, M.Ag.
Para Sedulur Pembaca Meteor Yang Budiman.
Pada bulan ramadhan ini, kita sering mendengar surat al Baqarah ayat 183 dibacakan, baik melalui radio, televisi, bahkan pada malam-malam tarawih ketika disampaikan kultum. Ujung ayat itu menyatakan : agar kamu bertaqwa. Apa sesungguhnya makna dan hakekat taqwa itu? Sudahkah kita merasa menjadi orang yang bertaqwa setelah melakukan ibadah puasa di bulan ramadhan tahun ini ? Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah menjelaskan kepada kita tentang makna taqwa itu. Beliau menjelaskan, taqwa itu:
Pertama, takut akan siksaan Allah swt.
Orang-orang yang bertaqwa akan selalu merasa khawatir dan cemas jangan-jangan dirinya akan masuk neraka, sehingga dalam dirinya ada raja’ (pengharapan) kepada Allah agar semua dosanya diampuni dan segala amalnya diterima, sehingga berharap untuk dapat masuk surga. Dia merasa sedikit dalam ketaatan dan merasa banyak berbuat dosa, sehingga orang seperti ini akan meningkatkan kualitas ketaatannya kepada Allah dan mengurangi terus-menerus kemaksiatannya. Dia merasa paling sedikit sedekahnya, merasa masih sedikit amalnya, merasa masih jarang shalat sunnah, merasa belum banyak puasa sunnah. Sebaliknya dia merasa banyak dosanya, merasa sering melanggar aturan Allah, merasa sering menyakiti orang lain, dst.
Kedua, hidup dengan tuntunan al Qur’an dan Sunnah nabi
Orang-orang yang berhasil dalam puasanya adalah orang-orang yang mampu menyelaraskan keinginan, jalan dan tujuan hidupnya sesuai dengan tuntunan dan aturan Allah swt, yang terdapat dalam al Qur’an dan hadits. Baik dalam hal ibadah (hablum min Allah) maupun dalam hal muamalah (hablum min al annas). Apapun yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya menjadi kesukaannya, sedang apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya menjadi hal yang ditinggalkannya. Meskipun dia sangat mencintai sesuatu, tetapi apabila Qur’an melarangnya, maka akan dia tinggalkan. Dan sebaliknya meskipun dia tidak suka, tetapi Qur’an dan hadits menyuruhnya, maka akan dikerjakannya.
Ketiga, mensyukuri nikmat Allah dan ridho dengan yang sedikit.
Orang-orang yang bertaqwa adalah mereka yang mampu untuk selalu mensyukuri nikmat Allah swt, baik secara lisan maupun perbuatan. Di samping itu dia mampu bersikap ridho kepada Allah manakala nikmat yang diterimanya, belum sesuai dengan keinginannya. Banyak orang yang bisa bersyukur ketika mendapatkan nikmat yang menyenangkan, tapi jarang mampu untuk bersikap ridlo (nrimo) manakala mendapatkan nikmat yang sedikit, atau sedang mendapatkan ujian berupa kekurangan dan tidak menyenangkan. Padahal bagi orang beriman, semua yang diberikan oleh Allah baginya adalah ujian. Apabila mendapatkan kenikmatan yang menyenangkan, ia merasa sedang diuji apakah mampu mensyukurinya. Sedang apabila mendapatkan kekurangan, ia merasa diuji apakah mampu untuk bersabar dan ridho kepada Allah swt.
Keempat, selalu berjaga-jaga untuk menyambut hari yang sangat panjang, yaitu hari setelah kematian.
Setiap manusia pasti mati, tetapi semua manusia tidak ada yang tahu kapan ajal itu datang. Ia adalah rahasia Allah swt. Banyak anak-anak bahkan bayi yang baru dilahirkan mati, tetapi sebaliknya banyak orang tua yang sakit-sakitan, tetapi ajal belum juga datang. Semua adalah kehendak Allah. Karena setiap kita pasti mati, dan setiap kita tidak tahu kapan datangnya kematian itu, maka persiapan yang yang paling bagus adalah selalu berjaga-jaga dengan berbuat kebaikan dan amal shaleh.
Puasa tinggal beberapa hari lagi, Idul Fitri sudah di depan mata. Sudahkah kita memiliki kriteria orang yang bertaqwa sebagaimana disampaikan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. tersebut ? Mudah-mudahan....Wallahu a’lam bish-shawab.

Monday, May 10, 2010

IKLAS TANPA IDENTITAS


IKHLAS TANPA IDENTITAS
Oleh : H.M. Alfandi, M.Ag.

Para Pembaca Yang Budiman
Bicara tentang keikhlasan, saya teringat dengan peristiwa Gempa Bumi yang terjadi beberapa tahun yang lalu di Klaten dan Yogyakarta. Entah karena apa, yang jelas semenjak terjadinya gempa, banyak orang-orang yang berdatangan ke lokasi bencana, baik secara individu maupun kelompok, dari kalangan pejabat, politikus, pengusaha, artis, sampai rakyat jelata, serta dengan atribut dan identitasnya masing-masing, yang mungkin niatnya juga berbeda-beda.
Tidak sedikit diantara mereka yang benar-benar dengan tulus ikhlas berniat untuk membantu korban, baik dengan tenaga, pikiran dan hartanya. Mereka menyisihkan waktunya dan datang dari tempat yang jauh hanya untuk menjadi relawan di tengah-tengah perihnya derita kawan dan saudaranya yang menjadi korban bencana, tanpa ada pamrih apapun kecuali keikhlasan untuk membantu.
Tetapi mungkin juga ada diantara mereka yang datang ke lokasi bencana untuk sekedar “numpang popularitas” identitas diri dan kelompoknya. Karena bagaimanapun pada kejadian-kejadian seperti ini banyak media berkumpul, meliput dan menyiarkan seluruh aktifitas dalam penanganan korban bencana. Sehingga secara tidak langsung mereka telah “mempromosikan” identitasnya, karena kedatangannya diliput dan beritanya disiarkan. Na’udzubillahi min dzalik.
Dalam hal keikhlasan sebenarnya Rasulullah Muhammad Saw telah mengingatkan kepada kita dalam sebuah haditsnya, yaitu “salah satu dari tujuh kelompok yang nanti akan memperoleh perlindungan Allah di hari kiamat (hari akhir) adalah orang-orang yang mau mendermakan harta (bershodaqoh) dengan disembunyikan (tidak dipublikasikan). Seolah-olah tangan kanan bershodaqoh, tetapi tangan kirinya tidak mengetahuinya.” Jadi ketika membantu dan memberi kepada orang lain sebenarnya tidak dibutuhkan lagi publikasi identitas diri dan kelompoknya, kalau diri dan kelompoknya benar-benar menginginkan keikhlasan tanpa pamrih dalam memberi bantuan.
Namun yang kadang pemberi bantuan memang harus menunjukkan identitas diri dan kelompoknya, apabila bantuannya itu disalurkan melalui atau kepada lembaga-lembaga yang membutuhkan akuntabilitas dan tranparansi kepada publik. Tidak ada jalan lain kecuali pemberi bantuan memberikan identitasnya, walaupun masih bisa juga untuk disamarkan. Yang menjadi persoalan lain adalah kadang pemberi bantuan masih ragu apakah lembaga-lembaga yang dititipi amanah itu benar-benar akan menyalurkan bantuannya atau tidak. Jika yang dititipi amanah itu benar-benar dapat dipercaya untuk menyalurkan bantuannya, maka sebenarnya juga tidak perlu untuk menonjolkan identitas diri dan kelompoknya.
Contoh dan suri tauladan yang baik memang harus kita perlihatkan kepada orang lain, agar orang lain mau melakukan hal yang sama. Akan tetapi yang sering terjadi pada manusia adalah justru sering ingin memperlihatkan kebaikannya kepada orang lain, dengan tujuan agar orang lain memberikan pujian kepadanya. Untuk meraih derajat mukhlis (orang yang ikhlas) memang tidak mudah,-sebagaimana syaratnya Pak Haji kepada calon menantunya Fandy yang kita lihat di sinetron Kiamat Sudah Dekat-, namun dengan membiasakan diri untuk menyembunyikan diri dan tidak mencari pamrih dalam setiap derma kita, derajat mukhlis tentu akan bisa kita raih, insya Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sunday, May 9, 2010

ILMU DAN AMAL

ILMU DAN AMAL

Oleh : H.M.Alfandi, M.Ag.

Para Pembaca Meteor Yang Budiman. Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu. Bahkan Allah Swt. mengatakan dalam firman-Nya ” Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Bardasarkan ayat al-Quran tersebut dikatakan bahwa Allah Swt. akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan. Atas dasar itulah maka Rasulullah Muhammad Saw. di beberapa haditsnya memerintahkan kepada umatnya untuk selalu menuntut ilmu. Perintah menuntut ilmu itu disebutkan dalam rentang waktu dari kandungan ibu sampai ke liang lahat (utlubul al ilma min al mahdi ila al lahdi). Artinya dari dalam kandungan, orang tua juga harus mulai memberikan didikan kepada anak yang berada dalam kandungannya. Demikian juga ketika sudah beranjak kanak-kanak sampai dewasa juga harus selalu menuntut ilmu. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan sampai berakhir kontrak umur kita kepada Allah Swt. kita tetap diminta untuk selalu menuntut ilmu.

Perintah untuk menuntut ilmu itu juga ditunjukkan dalam rentang jarak yang jauh (utlubul al ilma walau bishiin). Negeri Cina adalah tempat yang jauh keberadaannya dari Tanah Arab. Artinya sejauh apapun keberadaan ilmu itu dari kita, kita juga diperintahkan untuk mencarinya –walau ke negeri Cina-. Perintah untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina, selain menunjukkan jarak yang jauh, juga merupakan petunjuk Nabi bahwa ilmu yang dituntut itu tidak hanya ilmu yang berkaitan dengan ”ilmu agama”; karena negeri Cina bukan pusatnya sumber agama Islam. Maka disini lebih menunjukkan bahwa ilmu apapun sepanjang bermanfaat bagi kemaslahatan umat, juga wajib untuk diraihnya.

Namun demikian yang penting untuk diperhatikan lagi bahwa tugas menuntut ilmu adalah bukan tugas terakhir. Yang lebih penting dari itu adalah tugas untuk mengamalkannya. Karena ilmu yang tidak diamalkan adalah ibarat pohon yang lebat tapi tidak menghasilkan buah apa-apa (al ’ilmu bilaa ’amalin ka al syajarah bilaa tsamaratin). Demikian juga, jika ada orang yang beramal tapi mereka tidak memiliki ilmu dapat diibaratkan ”membangun rumah di malam hari yang gelap gulita”; yang sudah barang tentu akan menghasilkan sebuah bangunan yang tidak bagus dan kuat.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Apabila anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah (amal yang pahalanya selalu mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya." (HR Muslim dan lainnya). Salah satu dari tiga hal tersebut, yang dapat kita dijadikan sebagai investasi di masa depan (akhirat) adalah ilmu yang bermanfaat. Salah satu ciri ilmu yang bermanfaat adalah jika ilmu itu diamalkan. Logikanya ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain maka kepunyaan kita akan berkurang. Akan tetapi jika yang kita berikan itu adalah ilmu kita maka insyaallah ilmu kita justru akan bertambah. Amin. Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Penulis adalah Dosen Komunikasi & Penyiaran Islam, dan Ketua Laboratorium Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.